Menjelajah luar angkasa bukan sekadar soal teknologi atau keberanian. Di balik misi-misi megah ke orbit Bumi hingga impian mendarat di Mars, ada satu hal yang menjadi poros utama: kesehatan para astronot. Tubuh manusia, yang sejatinya tercipta untuk hidup di bawah tarikan gravitasi Bumi, harus bertahan dalam kondisi ekstrem antariksa. Maka tak heran jika NASA terus-menerus mengawasi kondisi fisik dan mental para kru luar angkasa.
Mulai pertengahan April 2025, tepatnya pada tanggal 14, para anggota Ekspedisi 72 yang saat ini bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) memulai penelitian yang menyasar salah satu organ vital manusia: mata. Penelitian ini bertujuan menggali dampak tinggal dalam kondisi tanpa gravitasi terhadap penglihatan, terutama ketika durasi misi bisa berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Kegiatan ini merupakan bagian dari proyek riset komprehensif bernama CIPHER, yakni gabungan dari 14 studi berbeda mengenai kondisi biologis manusia di luar angkasa. Tak hanya memotret aspek jasmani, CIPHER juga menyelami sisi psikologis astronot yang harus hidup jauh dari rumah, dalam ruang terbatas, dan minim kontak langsung dengan alam.
“Astronot yang akan menjalankan misi ke Bulan atau Mars di masa mendatang akan mengalami peningkatan risiko pada penglihatan dan struktur mata mereka karena paparan gravitasi mikro dalam jangka waktu yang lebih lama,” kata NASA, dikutip pada Rabu, 16 April.
Penelitian ini tidak berhenti hanya pada penglihatan. Kru Ekspedisi 72 juga menyoroti bagaimana otak mereka merespons kondisi mikrogravitasi. Ilmuwan ingin mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi pada struktur dan volume otak serta mata, seiring waktu mereka menghabiskan hari-hari di ISS. Dalam hal ini, otak dan mata diibaratkan sebagai dua pusat kendali persepsi yang rentan terganggu oleh lingkungan yang tak biasa.
Yang menjadi tokoh kunci dalam eksperimen kali ini adalah Anne McClain, insinyur penerbangan NASA. Ia mengambil peran penting dalam penelitian ini dengan menguji bagaimana retina rekan sesama astronot, Jonny Kim, bereaksi terhadap rangsangan cahaya. Dalam prosedurnya, Kim diberikan obat tetes mata dan dipasangi elektroda untuk memantau sinyal yang ditangkap dari aktivitas retina.
Penelitian ini tidak akan selesai dalam hitungan hari. NASA merancangnya sebagai observasi jangka panjang, demi mengumpulkan gambaran utuh mengenai pengaruh luar angkasa terhadap tubuh manusia.
“Para ilmuwan akan menggunakan wawasan yang diperoleh dari data penelitian untuk memahami bagaimana tubuh manusia beradaptasi dengan penerbangan luar angkasa dan memberikan tindakan pencegahan,” jelas NASA.
Dengan studi ini, NASA berharap bisa membentangkan jalan yang lebih aman bagi misi eksplorasi masa depan. Karena sebelum manusia bisa menapakkan kaki di Mars atau mendirikan koloni di Bulan, mereka harus lebih dulu memahami bagaimana tubuh mereka berubah — dalam ruang hampa yang tak mengenal siang dan malam.