Setelah pandemi COVID-19, Perhutani menghadapi penurunan signifikan dalam pendapatan dari penjualan produk minyak kayu putih. Direktur Utama Perum Perhutani, Wahyu Kuncoro, mengungkapkan hal ini dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (29/4/2025). Menurut Wahyu, dampak pandemi terhadap permintaan minyak kayu putih terasa cukup besar, dengan penjualan yang semula memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan perusahaan, kini terpuruk.
Selama pandemi, penjualan minyak kayu putih sempat memberikan kontribusi hingga Rp 150 miliar bagi perusahaan. Namun, seiring berakhirnya masa puncak COVID-19, produk kayu putih yang sempat mencuat ini kehilangan daya tarik di pasaran. “Kayu putih, memang begitu Covid selesai, ini jadi nggak laku kayu putih kami. Nggak mungkin juga kami berdoa COVID-19 datang lagi,” ujar Wahyu. Penurunan permintaan ini menambah tantangan baru bagi Perhutani yang kini harus mencari solusi untuk mengembalikan daya saing produk tersebut.
Saat ini, perusahaan tercatat memiliki stok sekitar 300 ribu ton kayu putih dengan nilai ekonomis yang diperkirakan mencapai Rp 60 miliar. Namun, kapasitas penjualan perusahaan hanya mampu menyerap sekitar 4 ton kayu putih per tahun. Wahyu menyebutkan, jika perusahaan terus mempertahankan tingkat penjualan tersebut, dibutuhkan waktu hingga tujuh tahun untuk menghabiskan seluruh stok yang ada.
Di tengah masalah penurunan penjualan ini, Perhutani tengah mengeksplorasi kemungkinan hilirisasi produk kayu putih. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan nilai tambah bagi produk kayu putih dan memperluas pangsa pasar. “Ini kami mencoba ke Direktur Komersial untuk cari model hilirisasi kayu putih ini, bisa dibikin apa sih kayu putih ini,” kata Wahyu. Inovasi produk hilirisasi akan menjadi kunci bagi perusahaan untuk bertahan di pasar yang kini jauh lebih kompetitif.
Sementara itu, dalam laporan pendapatan tahun 2024, Perhutani mencatatkan pendapatan sebesar Rp 5,5 triliun yang tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun stagnan, perusahaan mencatatkan kenaikan 2,5% jika dibandingkan dengan lima tahun terakhir. Namun, laba bersih perusahaan mengalami penurunan, tercatat hanya Rp 303 miliar pada 2024, menurun dibandingkan dengan laba bersih Rp 502 miliar pada tahun sebelumnya. Meskipun begitu, laba bersih perusahaan masih tercatat meningkat 6,7% dalam lima tahun terakhir.
Wahyu menjelaskan bahwa penurunan laba tahun 2024 disebabkan oleh sejumlah faktor eksternal, termasuk gejolak politik dan ketidakpastian ekonomi yang mempengaruhi industri kehutanan secara keseluruhan. “Banyak perusahaan kehutanan yang sulit untuk meneruskan bisnisnya, karena situasi gejolak politik dan pergerakan ekonomi yang cukup luar biasa,” tutupnya.
Dengan berbagai tantangan ini, Perhutani tetap berupaya untuk menjaga pertumbuhan dan mengembangkan produk-produknya agar dapat kembali meraih pasar yang lebih luas, termasuk melalui inovasi dan diversifikasi produk kayu putih. Langkah-langkah strategis ini diharapkan dapat membawa perusahaan pada jalur pemulihan yang lebih baik ke depannya.