Langit mendung tak selalu berarti hujan bagi pelaku industri tambang. PT Bumi Resources Tbk (BUMI), salah satu pemain besar di sektor batu bara yang bernaung di bawah bendera Bakrie dan Salim Group, justru melihat secercah cahaya dari balik perubahan aturan dan dinamika global terkini. Perusahaan ini dinilai akan memperoleh berkah ganda: dari revisi kebijakan tarif royalti dalam negeri, hingga dukungan tak langsung dari kebijakan pro-batu bara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Aturan Baru, Peluang Baru
Pemerintah Indonesia belum lama ini memberlakukan regulasi anyar terkait pungutan dari sektor minerba, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2025. Aturan ini merupakan revisi dari PP sebelumnya (No. 15 Tahun 2022) yang mengatur kontribusi fiskal dari sektor pertambangan batu bara. Seiring berlakunya regulasi ini, para pelaku industri harus menyesuaikan strategi, namun tidak sedikit pula yang justru mendapatkan manfaat finansial dari perombakan tersebut.
BUMI, sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), termasuk yang menuai keuntungan. Dalam struktur tarif terbaru, ketika harga acuan batu bara global masih di bawah ambang US$100 per ton, tarif royalti ekspor untuk IUPK ditetapkan sebesar 18%. Angka ini lebih rendah dibanding tarif sebelumnya yang mencapai 25% untuk generasi pertama dan 24% untuk generasi kedua. Sementara itu, tarif untuk penjualan domestik tetap pada 14%.
Efek Domino pada Laba Perusahaan
Jika mengambil data keuangan terakhir sebagai pijakan, BUMI tercatat mengeluarkan beban royalti sebesar US$294,04 juta pada tahun lalu—yakni sekitar 21,63% dari pendapatan yang mencapai US$1,35 miliar. Dengan penyesuaian tarif menjadi 18%, perusahaan ini berpotensi mengantongi selisih efisiensi senilai US$49,30 juta atau sekitar Rp828,37 miliar (dengan kurs Rp16.800 per dolar AS).
Tambahan surplus ini, apabila langsung ditambahkan ke laba bersih tahun sebelumnya yang berada di angka US$67,4 juta, dapat meningkatkan laba menjadi US$116,78 juta—lonjakan sekitar 73,08%. Bahkan dengan proyeksi tahun berjalan, laba BUMI diperkirakan melonjak hingga 142% secara tahunan.
Dari Washington, Sinyal Positif Tambahan
Dari seberang Samudra Pasifik, semilir angin segar lainnya berhembus. Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali menunjukkan keberpihakan pada energi fosil, khususnya batu bara. Lewat langkah eksekutif, Trump memberikan kelonggaran kepada 47 fasilitas pembangkit listrik batu bara dari kewajiban mematuhi aturan emisi ketat yang dikenalkan di era Joe Biden.
Langkah ini dianggap sebagai bentuk proteksi bagi industri batu bara yang tengah tergerus oleh pertumbuhan energi alternatif dan peningkatan standar lingkungan hidup. Dengan mencabut sebagian regulasi tentang emisi merkuri dan zat berbahaya lainnya, Trump mengupayakan agar pembangkit-pembangkit lama tetap beroperasi dan industri batu bara bisa tetap bernafas.
“Ini akan memberikan kejelasan dan kepastian bagi operasi ke depan,” ungkap Anggota Kongres dari Montana, Troy Downing, menanggapi dimasukkannya dua unit pembangkit Colstrip ke dalam daftar pengecualian.
Dampaknya bagi Indonesia
Sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia, Indonesia berpotensi mendapatkan limpahan manfaat dari arah kebijakan AS tersebut. Meski nilai ekspor turun 11,86% menjadi US$30,49 miliar, volume ekspor meningkat menjadi 405,76 juta ton, naik 6,86% dari tahun sebelumnya. Artinya, permintaan tetap solid, meski harga mengalami penurunan.
Batu bara tetap menjadi sumber tenaga paling ekonomis dan dominan di Asia, menyumbang sekitar 56% dari total kebutuhan listrik di kawasan. Di tengah tekanan dari tarif baru yang diberlakukan AS terhadap banyak produk impor, batu bara justru tampil sebagai “kuda hitam” yang memberi celah efisiensi bagi pabrik dan penyedia listrik di Asia untuk tetap kompetitif.
Dengan kata lain, di saat sebagian sektor mungkin berguguran diterpa badai kebijakan, BUMI justru tengah menyiapkan layar untuk berlayar lebih jauh.